Sesungguhnya ilmu yang terpuji di dalam al-Kitab dan as-Sunnah yang mana akan dipuji ilmu tersebut dan juga bagi pemiliknya adalah ilmu syari’at. Ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap pujian yang disebutkan di dalam al-Kitab dan as-Sunnah terhadap ilmu dan para pengembannya maka yang dimaksud adalah ilmu syari’at. Yaitu ilmu al-Kitab dan as-Sunnah serta fikih/pemahaman terhadap agama ini (lihat keterangan Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa’il, 5/9)
Diantara dalil al-Qur’an yang menunjukkan keutamaan ilmu agama ini adalah firman Allah (yang artinya), “Katakanlah; Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu.” (az-Zumar : 9). Firman Allah (yang artinya), “Dan katakanlah -wahai, Muhammad-, ‘Wahai Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (Thaha : 114). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang paling merasa takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir : 28) (lihat Kutub wa Rasa’il, 5/9)
Dalil dari hadits diantaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Para ulama adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham. Mereka mewariskan ilmu…” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, hadits hasan dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu). Dalam hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu juga disebutkan bahwasanya apabila seorang insan meninggal maka akan terputus amalnya kecuali tiga hal dan salah satunya adalah ‘ilmu yang bermanfaat’ (lihat Kutub wa Rasa’il, 5/9)
Pokok-pokok ilmu agama ini berporos pada tiga bidang ilmu; yaitu tafsir, hadits, dan fikih. Sebagaimana dinyatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Fat-hul Bari ketika menjelaskan ‘bab keutamaan ilmu’ yang ada di dalam Kitab al-‘Ilmi dari Sahih Bukhari. Adapun ilmu tafsir karena di dalamnya terkandung penjelasan terhadap makna-makna kalam Allah dan mencakup hasil dari proses tadabbur terhadap ayat-ayatnya. Allah berfirman (yang artinya), “Sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu kitab yang diberkahi, supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang memiliki akal pikiran memetik pelajaran.” (Shaad : 29). Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (lihat Kutub wa Rasa’il, 5/10-11)
Adapun hadits atau as-Sunnah maka ia pun termasuk wahyu dari Allah yang Allah wahyukan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya. Tidaklah yang dia ucapkan melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm : 3-4). Mengamalkan as-Sunnah atau hadits adalah wajib sebagaimana halnya beramal dengan al-Qur’an. Allah berfirman (yang artinya), “Apa pun yang dibawa oleh Rasul kepada kalian maka ambillah dan apa pun yang dia larang maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr : 7). Allah juga berfirman (yang artinya), “Apabila kalian berselisih tentang suatu perkara hendaklah kalian kembalikan kepada Allah dan Rasul…” (an-Nisaa’ : 59). Allah juga berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi dari perintah/ajaran rasul itu bahwa mereka akan tertimpa fitnah atau azab yang sangat pedih.” (an-Nuur : 63) (lihat Kutub wa Rasa’il, 5/12-13)
Adapun fikih maka ia merupakan hasil dari pengambilan hukum terhadap dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Ilmu fikih -dalam makna yang luas- ini pun telah dikaji secara mendalam oleh para ahli tafsir dan para penulis syarah/penjabaran hadits. Diantara dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu fikih -dalam makna yang luas- adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya maka Allah berikan kepadanya fikih dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu) (lihat Kutub wa Rasa’il, 5/14)
Perlu digarisbawahi di sini bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah fikih -dalam bahasa ulama salaf- adalah pemahaman terhadap al-Kitab dan as-Sunnah serta pengambilan kesimpulan-kesimpulan hukum dari keduanya. Diantara contoh fikih atau pemahaman terhadap ayat al-Qur’an adalah apa yang dipahami oleh Umar bin Khaththab dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai tafsir dari surat an-Nashr. Bahwa maksud dari turunnya surat ini adalah berita tentang telah dekatnya ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits tentang kisah Ibnu ‘Abbas ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Dan diantara kitab tafsir yang sangat perhatian dalam menarik kesimpulan-kesimpulan hukum dan hikmah dari ayat-ayat al-Qur’an adalah kitab al-Jami’ li Ahkamil Qur’an karya Imam al-Qurthubi rahimahullah (wafat 671 H). Meskipun demikian perlu dicatat bahwasanya beliau memiliki sedikit kerancuan dalam masalah penafsiran ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah (lihat Kutub wa Rasa’il, 5/16-18)
Oleh sebab itu para ulama memilah ilmu fikih menjadi dua kelompok besar. Ada fikih yang berkaitan dengan masalah-masalah akidah, dan ada fikih yang berkaitan dengan perkara-perkara ibadah dan muamalah. Fikih yang pertama disebut dengan istilah fikih akbar, sedangkan fikih yang kedua adalah istilah fikih yang sudah biasa dikenal di tengah masyarakat. Dalam hal fikih yang kedua inilah muncul istilah madzhab fikih seperti adanya madzhab yang empat. Yang dimaksud empat imam madzhab itu adalah : Abu Hanifah (wafat 150 H), Malik bin Anas (wafat 179 H), Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (wafat 204 H), dan Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H) semoga Allah merahmati mereka semuanya (lihat Kutub wa Rasa’il, 5/21-22)
Ada ulama lain di masa imam yang empat itu yang juga masyhur dengan ilmu fikih dan fatwa. Walaupun madzhab mereka tidak setenar keempat madzhab tersebut. Diantara mereka itu adalah : al-Auz’ai seorang fakih dan ahli hadits dari Syam (wafat 157 H), Sufyan ats-Tsauri seorang fakih dan ahli hadits dari Kufah (wafat 161 H), al-Laits bin Sa’ad seorang fakih dan ahli hadits dari Mesir (wafat 175 H), dan Ishaq bin Rahawaih (wafat 238 H) salah satu ulama hadits yang digelari sebagai Amirul Mu’minin fil Hadits (lihat Kutub wa Rasa’il, 5/23-24)
Diantara nasihat yang sangat penting untuk diperhatikan adalah hendaknya penimba ilmu memadukan antara belajar hadits dengan fikih. Seorang yang mendalami fikih maka dia harus menelaah hadits, sebagaimana orang yang mendalami hadits juga harus mengerti masalah fikih. Nasihat mengenai pentingnya memadukan antara hadits dengan fikih ini telah disampaikan oleh Imam Abu Sulaiman al-Khaththabi rahimahullah (wafat 388 H) dalam kitabnya Ma’alim as-Sunan. Beliau menggambarkan hadits seperti pondasi sedangkan fikih seperti bangunannya. Keduanya adalah saling membutuhkan, tidak bisa dipisahkan (lihat Kutub wa Rasa’il, 5/32-33)
Dari apa-apa yang sudah dipaparkan di atas jelaslah bagi kita mengenai pentingnya mempelajari ilmu tafsir, hadits, dan fikih. Perlu diingat pula bahwasanya istilah fikih dalam bahasa ulama salaf mencakup fikih akbar -yaitu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan tauhid- maupun fikih yang sudah biasa kita kenal -yaitu yang membahas ibadah dan muamalah-. Dengan demikian hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan urgensi belajar tauhid dan aqidah. Sebab tauhid dan aqidah adalah materi dakwah yang paling pokok dan kewajiban yang paling wajib. Maka, bisa disimpulkan pula bahwasanya membahas tafsir ayat-ayat tentang tauhid dan hadits-hadits tentang tauhid serta pokok-pokok agama termasuk perkara yang paling utama dan paling penting. Wallahu a’lam.
—
Bonus Informasi :
Donasi Pembangunan Masjid
Alhamdulillah, atas taufik dari Allah kemudian bantuan dari para muhsinin. Pada saat ini telah dilakukan proses perataan tanah wakaf yang hendak didirikan di atasnya bangunan masjid rintisan Graha al-Mubarok di dusun Donotirto, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Jarak tempuh lokasi tanah tersebut dari kampus UMY adalah kurang lebih 10 menit.
Tanah yang diratakan untuk lokasi pembangunan masjid ini merupakan wakaf dari dua orang muhsinin, yaitu Bapak Sudarmanto dan Bapak Suranto, semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan. Luas tanah yang hendak dibangun masjid adalah 400 meter per segi.
Pengurusan tanah wakaf ini merupakan kerjasama dari rekan-rekan pengurus FORSIM yaitu al-Akh Yudha -ketua FORSIM-, al-Akh Andes -takmir mahasiswa Masjid Muthohharoh Ngebel-, al-Akh Bayu -bendahara FORSIM-, Bp. Windri -pembina FORSIM-, Bp. dr. Desin -pembina FORSIM-, Bp. Sudarmanto dan Bp. Suranto -selaku pemilik tanah- beserta rekan-rekan wisma al-Mubarok dan wisma al-Falah, semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan sebaik-baik balasan.
Bagi kaum muslimin yang ingin menyumbangkan sebagian hartanya untuk pembangunan masjid silahkan mengirimkan kepada panitia pembangunan masjid via :
Rekening Bank Syariah Mandiri (BSM) no rek. 706 712 68 17
atas nama Windri Atmoko
Konfirmasi Donasi via SMS :
Ketik : Nama#Alamat#Donasi Masjid#Tanggal Transfer#Jumlah
Contoh : Abdurrahman, Jakarta, Donasi Pembangunan Masjid, 15 Mei 2016, 1 Juta
Dikirimkan ke no HP : 0857 4262 4444 (sms/wa) (Nashrullah, Wakil Mudir Ma’had)
Demikian informasi dari kami, semoga bermanfaat.
– Forum Studi Islam Mahasiswa (FORSIM)
– Pengurus Ma’had al-Mubarok
– Panitia Pendirian Graha al-Mubarok
Pusat Informasi :
Website : www.al-mubarok.com
Fanspage FB : Kajian Islam al-Mubarok
e-mail : forsimstudi@gmail.com
—
Motivasi :
Keutamaan Membangun Masjid
Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah…” (at-Taubah : 18)
Memakmurkan masjid mencakup perbuatan memakmurkannya secara fisik dan juga secara maknawi. Memakmurkan secara fisik misalnya adalah membangunnya dengan tanah dan batu, menemboknya, dsb. Adapun memakmurkan secara maknawi ialah dengan keimanan kepada Allah, sholat, membaca al-Qur’an, dakwah dan ta’lim/mengajarkan ilmu agama. Oleh sebab itu apabila seorang mukmin membangun sebuah masjid dengan landasan iman dan keikhlasan maka hal itu termasuk memakmurkan masjid secara fisik dan maknawi sekaligus maka pahalanya adalah Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malik al-Jalil, 1/856)
Memakmurkan masjid yang sejati adalah dengan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Sehingga masjid benar-benar menjadi tempat untuk menunaikan sholat berjama’ah. Tempat untuk menyebarkan ilmu dan diadakannya majelis-majelis ilmu. Tempat untuk mempelajari al-Qur’an. Tempat untuk beri’tikaf. Dari masjid inilah akan terpancar cahaya ilmu dan ta’lim. Dan dari masjid inilah akan tersebar berbagai kebaikan di tengah umat (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Bulughul Maram, 2/166)
Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membangun sebuah masjid seraya mengharap wajah Allah niscaya Allah akan bangunkan untuknya yang semisalnya di dalam surga.” (HR. Bukhari no. 452)
Di dalam hadits ini terkandung keutamaan bagi orang yang membangun sebuah masjid untuk Allah, bahwasanya dia akan dibangunkan sebuah rumah di surga. Ini adalah keutamaan yang sangat besar. Akan tetapi hal itu berlaku dengan syarat harus disertai dengan iman dan keikhlasan. Oleh sebab itu disebutkan dalam hadits ‘seraya mengharap wajah Allah’. Dengan demikian perbuatan itu harus dilandasi dengan keimanan dan keikhlasan. Apabila orang yang membangunnya tidak beriman atau tidak ikhlas maka tidak ada pahala baginya di akhirat. Dan yang dimaksud dengan membangun masjid itu mencakup membangun sejak dari awal ataupun memperbaharui/merenovasi dan memperluasnya (lihat Minhatul Malik al-Jalil, 1/861)